SKRIPSI
PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY-TWO STRAY
DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA
KELAS VIII1 SMP NEGERI 26 MAKASSAR
ROBY DARWIS
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013
ABSTRAK
Roby Darwis, 2013. Penerapan Model Pembela jaran
Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray dengan Pendekatan Kontekstual untuk
Meningkatkan Komunikasi Matematika Siswa Kelas
SMP Negeri 26 Makassar. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Negeri Makassar(dibimbing oleh Drs. Hamda, DipKom. M.Pd. dan Hj. Aswi, S.Pd., M.Si)
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi
matematika siswa kelas VIII1 SMP Negeri 26 Makassar pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Two
Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual dengan subjek penelitian sebanyak 32 siswa. Siklus
I dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan dan siklus II
dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan. Pengambilan data
dilakukan dengan menggunakan tes komunikasi matematika siswa, lembar observasi guru
dan siswa serta angket respon siswa. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Hasil observasi aktivitas siswa
menunjukkan keaktifan dan keseriusan siswa dalam mengikuti pembelajaran,
khususnya komunikasi dan kerjasama kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil observasi
aktivitas guru dalam pembelajaran menunjukkan keterlaksanaan
proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru setiap pertemuan mengalami
perubahan kearah yang positif demi terciptanya suasana belajar yang sesuai
dengan yang diharapkan. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I banyaknya siswa yang memperoleh skor tes komunikasi matematika mencapai ≥ 65 adalah 5 siswa atau 12,5%.dengan mean 55,62. Pada siklus II banyaknya siswa yang memperoleh skor tes komunikasi
matematika mencapai ≥ 65 adalah 27 siswa atau 84,4%. dengan mean 74,28. Respon siswa terhadap pembelajaran menunjukkan respon positif setelah
dilaksanakan pembelajaran yang menunjukkan ketepatan tindakan yang diberikan
kepada mereka untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam proses
belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi matematika siswa mengalami peningkatan selama proses pembelajaran berlangsung
setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang
RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) menyebutkan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
dinamis serta bertanggung jawab.
Berlakunya
Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi yang telah direvisi melalui Kurikulum Satuan
Tingkat Pendidikan (KTSP) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran,
khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal (sekolah). Perubahan
tersebut harus pula diikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pembelajaran di sekolah (Trianto, 2009).
Dalam
upaya pengembangan kualitas manusia Indonesia, patokan minimal yang harus
dicapai adalah tumbuhnya kemampuan berpikir logis dan sikap kemandirian dalam
diri peserta didik. Untuk itu, sistem pembelajaran yang mengutamakan matematika
dan ilmu-ilmu pengetahuan dasar dan lainnya menjadi prasyarat bagi proses
pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia yang mampu menghadapi dan
mengantisipasi tantangan pembangunan di masa depan (Semiawan dalam Karim,
2008).
Namun,
hasil studi menyebutkan bahwa meski ada peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan, pembelajaran dan pemahaman siswa khususnya siswa SMP (pada
beberapa materi pelajaran termasuk matematika) menunjukkan hasil yang kurang
memuaskan. Pelajaran di SMP cenderung text
book oriented dan kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Pembelajaran cenderung abstrak dan menggunakan metode ceramah, sehingga
konsep-konsep kurang bisa atau sulit dipahami. Sementara kebanyakan guru dalam
mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau dengan kata
lain guru melakukan pengajaran yang kurang bermakna, metode yang digunakan
kurang bervariasi, dan sebagai akibatnya motivasi belajar siswa menjadi sulit
ditumbuhkan dan pola pengajaran cenderung menghafal dan mekanistis (Direktorat
PLP dalam Karim, 2008)
Salah
satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran
yang semula berpusat pada guru (teacher
centered) beralih berpusat pada murid (student
centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke
partisipatori dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah
menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki
mutu pendidikan baik dari segi proses maupun hasil pendidikan (Komaruddin dalam
Trianto, 2009).
Guru adalah salah satu komponen
yang besar pengaruhnya terhadap peningkatan kemampuan siswa, karena gurulah
yang langsung berhadapan dengan siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu, seorang guru harus mampu mengembangkan berbagai metode, strategi
pembelajaran, serta perangkat pembelajaran. Dimana salah satu aspek perangkat
pembelajaran adalah bahan ajar siswa. Penerapan metode mengajar yang tepat
serta penggunaan bahan ajar yang sesuai dengan metode yang digunakan dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, dalam artian dapat mengacu
keingintahuan dan memotivasi siswa agar terlibat aktif dalam kegiatan belajar
mengajar.
Sifat-sifat atau karakteristik
guru-guru yang disenangi oleh para siswa adalah guru-guru yang: (1) demokratis,
yakni guru yang memberikan kebebasan kepada anak di samping mengadakan pembatasan-pambatasan
tertentu, tidak bersifat otoriter dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan serta dalam berbagai kegiatan; (2) suka bekerja sama (kooperatif),
yakni guru yang bersikap sering memberi dan saling menerima serta dilandasi
oleh kekeluargaan dan toleransi yang tinggi; (3) baik hati, yakni suka memberi
dan berkorban untuk kepentingan anak didiknya; (4) sabar, yakni guru yang tidak
suka marah dan lekas tersinggung serta suka menahan diri; (5) adil, yakni tidak
membeda-bedakan anak didik dan memberi kesempatan yang sama bagi semuanya; (6)
konsisten, yakni selalu berkata dan bertindak sesuai dengan ucapannya; (7)
bersifat terbuka, yakni bersedia menerima kritik dan saran serta mengakui
kekurangan dan kelemahannya; (8) suka menolong, yakni siap membantu anak-anak
yang mengalami kesulitan atau masalah tertentu; (9) ramah-tamah, yakni mudah
bergaul dan disenangi oleh semua orang, tidak sombong dan bersedia bertindak
sebagai pendengar yang baik di samping sebagai pembicara yang menarik; (10)
suka humor, yakni pandai membuat anak-anak menjadi gembira dan tidak tegang
atau terlalu serius; (11) memiliki berbagai macam minat akan merangsang siswa
dan dapat melayani berbagai minat anak; (12) menguasai bahan pelajaran, yakni
dapat menyampaikan materi pelajaran dengan lancar dan menumbuhkan semangat di
kalangan anak; (13) fleksibel, yakni tidak kaku dalam bersikap dan berbuat
serta pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya; (14) menaruh minat yang
baik kepada siswa, yakni peduli dan perhatian kepada minat siswa (Kunandar,
2010).
Selanjutnya
dalam Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu
mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
serta berfungsi untuk: 1) menata dan meningkatkan ketajaman penalaran siswa,
sehingga dapat memperjelas penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari; 2)
melatih kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol;
3) melatih siswa untuk selalu berorientasi pada kebenaran dengan mengembangkan
sikap logis, kritis, kreatif; dan 4) melatih siswa untuk berpikir secara
teratur, sistematik, dan terstruktur dalam konsepsi yang jelas (Sidi dalam
Supriadi, 2012).
Matematika sebagai salah satu
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah memiliki objek kajian yang bersifat
abstrak dam memiliki simbol-simbol yang sulit dipahami dan mengkomunikasikannya
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Oleh
karena itu, seorang guru harus kreatif dalam melakukan proses pengajaran dan
menggunakan metode atau strategi pembelajaran yang cocok diterapkan dalam
pembelajaran matematika yang memiliki objek kajian yang bersifat abstrak, sehingga pembelajaran lebih bermakna.
Pembelajaran kontesktual merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat
diterapkan pada pembelajaran matematika sehingga pembelajaran lebih bermakna.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang
beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan
“mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”.
Pembelajaran tidak hanya sekedar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru
kepada siswa, tetapi bagaimana siswa mampu mamaknai apa yang dipelajari itu.
Oleh karena itu, strategi pembelajaran lebih utama dari sekedar hasil. Dalam
hal ini, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status
apa mereka, dan bagaimana pencapaiannya. Mereka menyadari bahwa apa yang
dipelajari akan berguna bagi hidupnya kelak. Dengan demikian, mereka akan
belajar lebih semangat dan penuh kesadaran.
Berdasarkan hasil pengamatan
penulis saat melaksanakan PPL di SMP 26 Makassar, ditemukan bahwa pemahaman
siswa terutama pada mata pelajaran matematika masih sangat kurang dan kemampuan
komunikasi matematika siswa masih rendah. Siswa terlihat kesulitan mengungkapkan
ide-ide matematika baik secara lisan maupun secara tertulis. Hal ini bisa saja
disebabkan karena mereka kurang paham dengan materi pelajaran yang sedang
dipelajari dan mereka terlihat agak canggung dalam menyampaikan pendapat di
depan umum. Beberapa siswa juga masih melakukan kesalahan saat menuliskan
simbol-simbol matematika bahkan sebagian besar tidak mampu menginterpretasi
permasalahan sehari-hari dan tidak mampu mengubahnya menjadi model matematika.
Sebagai contoh ketika siswa dihadapkan dengan pertanyaan berikut “Ani akan
membungkus kotak kado dengan ukuran 30 cm x 25 cm x 45 cm. Berapakah luas
kertas pembungkus kotak kado yang dibutuhkan Ani?”, terkadang masih banyak
siswa yang masih bingung menafsirkan apakah volume atau luas permukaan yang ditanyakan
pada soal tersebut. Kemudian siswa juga masih banyak yang melakukan kesalahan
dalam menuliskan sombol-simbol serta perhitungan matematika. Dengan kata lain,
kemampuan komunikasi matematika siswa masih rendah. Hal ini diperkuat pula
bahwa saat melakukan observasi awal dengan memberikan tes komunikasi matematika
diperoleh nilai skor komunikasi matematika siswa masih rendah sehingga diperlukan
strategi atau metode pembelajaran yang mampu meningkatkan pemahaman matematika
siswa sehingga mampu mengemukakan ide-ide matematika atau berkomunikasi
matematika dengan baik serta menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi
siswa sehingga dapat meningkatkan motivasi mereka dalam belajar. Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya ditemukan bahwa penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkatkan
komunikasi matematika siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional
karena model pembelajaran ini memungkinkan semua siswa terlibat aktif untuk
mencari informasi dari kelompok lain dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Pada model pembelajan ini terjadi pertukaran informasi antarsiswa tentang
permasalahan yang diberikan sehingga terjalin komunikasi yang intensif dibandingkan pembelajaran kooperatif
tipe yang lain.
Oleh karena itu, penulis
melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray dengan Pendekatan
Kontekstual untuk Meningkatkan Komunikasi Matematika Siswa Kelas SMP 26 Makassar”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah
1. Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan
kontekstual dapat meningkatkan komunikasi matematika
pada siswa kelas SMP 26
Makassar?
2. Bagaimana respon siswa terhadap penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika ?
C. Tujuan Penelitian
Pada
prinsipnya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menjawab
permasalahan sebagaimana yang dirumuskan di atas, yaitu untuk :
1. Mengetahui apakah kemampuan
komunikasi matematika siswa lebih meningkat dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual.
2. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap
penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe Two Stay-Two Stray dengan
pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini antara lain
1. Bagi
peneliti :
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan pengetahuan dan gambaran tentang penerapan model pembelajaran
Kooperatif tipe Two Stay-Two Stray
dengan pendekatan kontekstual.
2. Bagi siswa :
Penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe Two
Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual diharapkan mampu meningkatkan
komunikasi matematika siswa serta merangsang minat siswa untuk mempelajari
matematika dan aktif dalam proses belajar mengajar.
3.
Bagi guru :
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk menambah referensi
dan pengetahuan tentang alternatif pembelajaran metematika dalam upaya
meningkatkan kreativitas dan semangat belajar matematika.
4. Bagi
sekolah :
Diharapkan mampu dijadikan sebagai
alternatif model pembelajaran di sekolah.
5. Bagi
dunia pendidikan :
Penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran pengajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualitas pengajaran matematika.
BAB
II
KERANGKA TEORITIK DAN
HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kerangka Teoritik
1. Hakekat Matematika
Matematika adalah suatu pelajaran yang tersusun secara beraturan, logis,
berjenjang dari yang paling mudah hingga yang paling rumit. Dengan demikian,
pelajaran matematika tersusun sedemikian rupa sehingga pengertian terdahulu
lebih mendasari pengertian berikutnya. Mempelajari matematika tidak hanya
berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan
matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur dan hubungan-hubungan yang diatur
menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang
abstrak (Muhkal, 2009).
Russefendi (Murniati dalam Nurlaela, 2011) menyatakan bahwa matematika
itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil, di mana dalil-dalil
setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika
sering disebut ilmu deduktif. Sedangkan menurut Kline menyatakan bahwa
matematika itu bukanlah pengetahuan yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,
tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Karema
itu matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam
menghadapi kemajuan IPTEK sehingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap
peserta didik sejak SD, bahkan sejak TK.
Namun matematika yang ada pada hakekatnya merupakan suatu ilmu yang cara
bernalarnya deduktif formal dan abstrak, harus diberikan kepada anak-anak sejak
SD yang cara berpikirnya pada operasi kongkret. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati
dalam menanamkan konsep-konsep matematika tersebut.
Sampai saat ini belum ada definisi tunggal tentang matematika. Hal ini
terbukti adanya puluhan definisi matematika yang belum mendapat kesepakatan di
antara para matematikawan. Tanggih dalam Nurlaela (2011), mengungkapkan bahwa matematika tidak hanya berhubungan dengan
bilangan-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan juga unsur ruang sebagai
sasarannya. Namun penunjukkan kuantitas seperti itu belum memenuhi sasaran
matematika yang lain, yaitu yang ditujukan kepada hubungan, pola, bentuk, dan
struktur.
Bagle (Hudojo, 2001:36) menyatakan bahwa sasaran atau objek penelaahan
matematika adalah fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Objek penelaah tersebut
menggunakan simbol-simbol yang kosong dari arti. Ciri ini yang memungkinkan
matematika dapat dimasuki wilayah bidang studi / cabang ilmu lain.
Menurut Suherman (Nurmahaera, 2010), fungsi mata pelajaran matematika
yang dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika di sekolah adalah sebagai
alat, pola pikir, dan ilmu dan pengetahuan.
1.
Matematika sebagai Alat
Matematika sebagai alat berfungsi untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia
kerja. Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk
memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-persamaan
atau tabel-tabel dalam model matematika yang merupakan penyederhanaan dari
soal-soal cerita atau soal-soal yang berbentuk uraian.
2. Matematika
sebagai Pola Pikir
Matematika berfungsi sebagai pola pikir yaitu
pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian. Melalui pengamatan
terhadap contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep
kemudian dilatih untuk memberikan perkiraan, terkaan atau kecenderungan
berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh
khusus (generalisasi).
3. Matematika
sebagai Ilmu atau Pengetahuan
Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, dalam
hal ini seorang guru harus mampu menunjukkan bahwa matematika selalu mencari
kebenaran dan bersedia memperbaiki kebenaran yang sementara diterima, bila
ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sebelumnya
selama mengikuti pola pikir yang sah.
Matematika sebagai suatu
ilmu, yang sekarang dapat dikatakan telah tersusun rapi dalam berbagai struktur
dengan hierarkinya masing-masing, secara sederhana dapat dilihat bahwa
matematika itu mempunyai karakteristik atau ciri-ciri yang amat ketat, terutama
adalah :
a. matematika memiliki objek kajian yang abstrak
b. bertumpu pada kesepakatan
c. berpola pikir deduktif
d. konsisten dalam sistemnya
e. memiliki/menggunakan simbol yang ”kosong” dari
arti
f. memperhatikan semesta pembicaraan (Soedjaji
dalam Irianti, 2010).
2. Komunikasi Matematika
Manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan terlepas dengan istilah komunikasi karena komunikasi sangat diperlukan sehingga dapat
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya untuk melakukan aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari.
Abdulhak dalam
Ansari (Nurjannah, 2012:8) menyatakan bahwa komunikasi dimaknai sebagai proses
penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran
tertentu. Sedangkan Suherman mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi matematika
adalah kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan ide matematika kepada orang
lain, dalam bentuk lisan, tulisan, atau diagram sehingga orang lain dapat
memahaminya (Nurjannah, 2012)
Whitin (Nirmala dalam
Supriadi, 2012 : 6) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting
ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu
menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerjasama
sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pimm dalam Supriadi (2012) yang menyatakan
banyak anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam kelompok dalam
mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemajuan baik di saat
mereka saling mendengarkan ide yang satu dengan yang lain, mendiskusikannya
bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya.
Ternyata mereka belajar sebagian besar dari berkomunikasi dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan mereka.
Pentingnya
komunikasi matematika diungkapkan Departemen Pendidikan Nasional dalam Shidiq
(Anen, 2012:13) yang menyatakan bahwa banyak persoalan atau informasi
disampaikan dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau
masalah ke dalam model matematika yang berupa diagram, persamaan matematika,
grafik, ataupun tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika
justru lebih praktis, sistematis, dan efisien.
Menurut Anen
(2012) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan untuk
mengekspresikan ide-ide atau pemahaman matematika secara lisan dan tulisan
menggunakan bilangan, simbol, gambar, grafik, diagram atau kata-kata.
Komunikasi adalah proses terpenting dalam belajar matematika, melalui
komunikasi siswa dapat merenungkan dan memperjelas ide-ide matematika dan
menghubungkan antar konsep matematika sehingga siswa menjadi jelas, meyakinkan
dan tepat dalam menggunakan bahasa matematika.
Baroody (Purwasih dalam Nurjanah, 2012 :8 )
menyebutkan ada lima aspek dalam komunikasi, yaitu
a. Representasi
Representasi adalah bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah
atau ide atau translasi suatu diagram dari model fisik ke dalam simbol atau kata.
b. Mendengar (Listening)
Mendengar secara hati-hati terhadap pernyataan teman dalam suatu kelompok
dapat membantu mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur
strategi jawaban yang lebih efektif.
c. Membaca (Reading)
Membaca yang dimaksud adalah aktivitas membaca teks secara aktif untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun.
d. Diskusi (Discussing)
Kelebihan diskusi dalam pembelajaran yaitu:
1) Meningkatkan pemahaman materi pembelajaran
dan kemahiran menggunakan strategi.
2) Membantu siswa mengkonstruksi pemahaman
matematika.
3) Menginformasikan bahwa para ahli
matematika tidak memecahkan permasalahan matematika secara sendiri-sendiri,
tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim.
4) Membantu siswa menganalisis dam memecahkan
masalah secara bijaksana.
e. Menulis (Writing)
Menulis merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran. Menulis merupakan alat yang bermanfaat
untuk memperoleh pengalaman matematika sebagai suatu aktivitas kreatif.
Selanjutnya
menurut NCTM (Anen, 2012:13) saat siswa ditantang untuk berfikir dan bernalar
tentang matematika, serta untuk mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran mereka
itu pada orang lain secara lisan atau tertulis, maka mereka telah belajar untuk
menjadi jelas dan meyakinkan. Menyimak penjelasan-penjelasan orang lain juga
memberikan kesempatan para siswa untuk membangun pemahaman sendiri.
Kemampuan
komunikasi matematika perlu dibangun dalam diri siswa dengan tujuan agar dapat:
a. Memodelkan sesuatu dengan lisan, tertulis,
gambar, grafik, dan secara aljabar.
b. Merefleksikan dan mengklasifikasi dalam
berpikir mengenai gagasan matematis dalam berbagai situasi,
c. Mengembangkan pemahaman terhadap gagasan
matematis termasuk peranan definisi-definisi dalam matematika,
d. Menggunakan keterampilan membaca,
mendengar, dan menulis untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan
matematis,
e. Mengkaji gagasan matematis melalui
konjektur dan alasan yang meyakinkan, dan
f. Memahami nilai dari notasi dan peran
matematika dalam pengembangan gagasan matematis.
Kemampuan
komunikasi matematis dapat pula diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling
hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, di mana terjadi pengalihan pesan.
Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa,
misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak
yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah guru dan siswa. Cara
pengalihan pesan dapat secara lisan maupn tertulis ( Supriadi, 2012: 5).
Menurut Sumarmo
(Dian, 2012) kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan
diagram ke dalam ide matematika
b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi
matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam
bahasa atau simbol matematika
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika
e. Membaca dengan pemahaman suatu prestasi
matematika tertulis
f. Membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi dan generalisasi
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan
matematika yang telas dipelajari.
Indikator
kemampuan siswa dalam komunikasi matematis pada pembelajaran matematika menurut
NCTM dalam Dian (2012) dapat dilihat dari : 1) kemampuan mengekspresikan
ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta
menggambarkannya secara visual; 2) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah,
notasi-notasi matematika dan
struktur-strukturnya untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan
model-model situasi.
Fitriani
(Nurjanah, 2012:10) mengungkapkan bahwa salah satu model komunikasi yang dapat
dikembangkan adalah komunikasi model Cai, Lane, dan Jakabcin dengan indikator
sebagai berikut.
a. Menulis matematis
Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat menuliskan penjelasan dan
jawaban permasalahannya secara metematis, masuk akal, dan jelas secara tersusun
secara logis dan sistematis.
b. Menggambar matematis
Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat melukiskan gambar, diagram
dan tabel secara lengkap dan benar.
c. Ekspresi matematis
Pada kemampuan ini siswa diharapkan mampu untuk memodelkan permasalahan
matematis secara benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi
secara lengkap dan benar.
TIM PPPG
Matematika (Romadhina dalam Tanti, 2012) menetapkan beberapa indikator yang
menunjukkan kemampuan komunikasi siswa, yaitu :
- Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.
- Mengajukan dugaan (conjegtures)
- Melakukan manipulasi matematika
- Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberi alasan atau bukti terhadap beberapa solusi
- Menarik kesimpulan dari pernyataan
- Memeriksa kesahihan suatu argument
- Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Dari beberapa
pendapat yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
matematika adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika dengan menggunakan
simbol, grafik, diagram, tabel, dan kata-kata yang diungkapkan secara lisan
maupun tertulis. Namun, dalam penelitian ini difokuskan untuk mengamati
kemampuan komunikasi matematika yang diungkapkan secara tertulis dan indikator
untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika siswa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah komunikasi model Cai, Lane, dan Jakabcsin.
Pedoman pemberian
skor kemampuan komunikasi matematika siswa menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin (Dian, 2012) yang disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Siswa
Menggunakan Holistic Scoring Rubrics
Kategori Kualitatif
|
Kategori Kuantitatif
|
Representatif
|
Skor
|
Jawaban benar disertai alasan yang benar
|
Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar
|
- Kosa kata atau bahasa
sehari-hari
|
4
|
Melukiskan diagram, gambar atau tabel secara lengkap
dan benar
|
- Menggambar
|
||
Membentuk model matematik, melakukan perhitungan secara
lengkap dan benar
|
- Model matematika atau
persamaan
|
||
Jawaban benar, alasan tidak lengkap
|
Penjelasan secara matematika masuk akal namun ada
sedikit kesalahan
|
- Kosa kata
|
3
|
Melukiskan gambar, diagram atau tabel dengan benar
namun tidak lengkap
|
- Menggambar
|
||
Menggunakan medel matematika, perhitungan matematika
namun masih terdapat kesalahan
|
- Model matematika
|
||
- Jawaban hampir benar
- Kesimpulan tidak ada
- Rumusan benar, tetapi
kesimpulan salah
- Jawaban benar tetapi
alasan salah
|
Penjelasan secara matematika masuk akal namun tidak
lengkap
|
- Kosa kata
|
2
|
Melukiskan gambar, diagram atau tabel namun tidak
lengkap dan sedikit kesalahan
|
- Menggambar
|
||
Menggunakan model matematika atau perhitungan namun
tidak lengkap dan terdapat sedikit kesalahan
|
- Model matematika
|
||
Jawaban salah tetapi
ada alasan
|
Menunjukkan pemahaman yang terbatas baik isi, tulisan,
gambar, atau tabel maupun penggunaan model matematika dan perhitungan
|
- Kosa kata
- Menggambar
- Persamaan
|
1
|
- Jawaban salah tanpa
alasan
- Tidak ada jawaban
|
Jawaban yang diberikan menunjukkan tidak memahami
konsep sehingga informasi yang diberikan tidak cukup detail
|
- Kosa kata
- Menggambar
- Persamaan
|
0
|
3. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan
pembelajaran adalah cara yang ditempuh seorang pengajar atau guru dalam
pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan dapat diserap oleh siswa.
Pengertian konteks
dan kontekstual menurut KBBI adalah ”Situasi yang ada hubungannya dengan suatu
kejadian”, sedangkan pengertian kontekstual adalah ”berhubungan dengan
konteks”. Sehingga pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang
mengaitkan materi pembelajaran dengan suatu konteks tertentu (Darta, 2004).
Elaine B. Johnson
(Riwayat dalam Rusman, 2010:187) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah
sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna.
Lebih lanjut, Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu
sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan
menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
Jadi, pembelajaran kontekstual adalah suatu usaha untuk membuat siswa aktif
dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa
berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia
nyata.
Sejauh ini,
pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai fakta
untuk dihafal. Pembelajaran tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan
kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar
pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahan
aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan
kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan
kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain
karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi
faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber
belajar, media, dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung maupun
tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata.
Dengan demikian pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan
sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan
langsung manfaatnya (Rusman, 2010).
Pendekatan
kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan dan memahami
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa yang mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep
ini, hasil belajar diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami
(Nurlaela, 2011).
Melalui pendekatan
kontekstual, dimungkinkan terjadinya proses belajar yang didalamnya siswa
mengeksplorasi pemahaman serta kemampuan akademiknya dalam berbagai variasi
konteks, di dalam ataupun di luar kelas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan
yang dihadapinya baik secara mandiri maupun berkelompok. Pendekatan kontekstual
juga dapat membantu siswa menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata,
dan memotivasi mereka untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya
dengan kehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga,
warga, negara, dan pelajar sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja
keras dalam menerapkan hasil belajarnya (Nurlaela, 2011).
- Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran
kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupannya sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran
kontekstual, yakni: kontruktivisme (contructivism),
bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (auhtentic assessment).
Selanjutnya
menurut Trianto (2009) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual menekankan
pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta
pengumpulan, penganalisisan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai
sumber dan pandangan. Di samping itu, telah didefinisikan enam unsur kunci pembelajaran
kontekstual seperti berikut ini (University
of Washington)
1) Pembelajaran bermakna: pemahaman,
relevansi, dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap
konten yanng harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan
hidup mereka;
2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk
melihat bagaimana apa yang dipelajari diterapkan dalam tatanan-tatanan lain dan
fungsi-fungsi pada saat sekarang dan
akan datang;
3) Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa
dilatih untuk menggunakan berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data,
memahami suatu isu, atau memecahkan suatu masalah;
4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan
standar: konten pengajaran berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar
lokal, negara bagian, nasional, asosiasi, dan/atau industri;
5) Responsif terhadap budaya: pendidik harus
memahami dan menghormati nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
kebiasaan-kebiasaan siswa, sesama rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka
mendidik. Berbagai macam budaya perorangan dan kelompok mempengaruhi
pembelajaran ;
6) Penilaian autentik: penggunaan berbagai
macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar
sesungguhnya yang diharapkan dari siswa. Strategi- strategi ini dapat meliputi
penilaian atas proyek dan kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, check list, dan panduan pengamatan di
samping memberikan kesempatan kepada siswa ikut aktif berperan serta dalam
menilai pembelajaran mereka dan penggunaan untuk memperbaiki keterampilan
menulis mereka.
”Contextual teaching and learning enables students to
connect the content of academic subject with the immediate context of their
daily lives to discover meaning. It enlarges their personal context furthermore,
by providing students with fresh experience that stimulate the brain to make
new connection and consecuently, to discover new meaning”.
”Pembelajaran kontekstual
memungkinkan siswa menghubungkan isi mata pelajaran akademik dengan
konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. Pembelajaran kontekstual
untuk memperluas konteks pribadi siswa lebih lanjut melalui penberian
pengalaman segar yang akan merangsang otak guna menjalin hubungan baru untuk
menemukan pengalaman baru”.(Johnson dalam Trianto, 2009)
- Strategi Pembelajaran Kontekstual
Kurikulum dan
instruksi yang berdasarkan strategi pembelajaran kontekstual haruslah dirancang
untuk meransang 5 (lima) bentuk dasar dari pembelajaran. Pertama: menghubungkan (relating).
Relating adalah belajar dalam suatu
konteks sebuah pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu
diperoleh siswa. Guru menggunakan relating
ketika mereka mencoba menghubungkan konsep baru dengan sesuatu yang telah
diketahui oleh siswa. Kedua: mencoba
(experiencing). Pada experiencing mungkin saja mereka tidak
mempunyai pengalaman langsung berlenaan dengan konsep tersebut. Akan tetapi,
pada bagian ini guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa
sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut siswa dapat membangun
pengetahuannya. Ketiga: mengaplikasi (applying). Strategi applying sebagai
belajar menggunakan konsep-konsep. Kenyataannya, siswa mengaplikasikan
konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah
yang hands-on dan proyek-proyek. Guru
juga dapat memotivasi suatu kebutuhan untuk memahami konsep dengan memberikan
latihan yang realistis dan relevan. Keempat: bekerja sama (cooperating). Bekerja sama-belajar dalam konteks saling berbagi,
merespon, dan komunikasi dengan pelajar lainnya adalah strategi instruksional
yang utama dalam pengajaran kontekstual. Pengalaman dalam bekerja sama tidak
hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini secara konsisten
juga berkaitan dengan penitikberatan pada kehidupan nyata dalam pengajaran
kontekstual. Pemberi kerja juga mengatakan bahwa pekerja yang dapat
berkomunikasi, dan dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim, akan sangat
dihargai di tempat kerja. Kelima:
proses transfer ilmu (transfering). Transfering adalah strategi mengajar
yang kita definisikan sebagai menggunakan pengetahuan dalam sebuah konteks baru
atau situasi baru suatu hal yang belum teratasi /diselesaikan dalam kelas.
Dalam pengembangan
pembelajaran kontekstual harus berorientasi pada beberapa hal, yaitu (1)
berbasis program; (2) menggunakan konteks majemuk; (3) menggambarkan
keanekaragaman pelajar; (4) mendukung pengaturan belajar mandiri; (5)
menggunakan kelompok belajar yang saling tergantung; (6) menggunakan asesmen yang
otentik (Trianto, 2010:109-110).
- Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Setiap model pembelajaran, di samping
memiliki unsur kesamaan, juga ada perbedaan tertentu. Hal ini karena setiap
model memiliki karakteristik tertentu,yang tentu saja berimplikasi pada
adanya perbedaan tertentu pula dalam membuat desain (skenario) yang disesuaikan
dengan model yang akan diterapkan.
Ada tujuh prinsip
pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan pembelajaran kontekstual yang
harus dikembangkan oleh guru, yaitu:
1)
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme
merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam pembelajaran kontekstual yaitu
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
membangun pengetahuan untuk memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah
tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus
dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan
yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk
diaktualisasikan dalam kondisi nyata (Rusman, 2010).
Ide-ide
konstruktivisme modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah
digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran
kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Salah satu prinsip
kunci yang diturunkan dari teorinya adalah penekanan pada hakikat sosial dari
pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Slavin dalam Trianto, 2009).
Berdasarkan teori ini dikembangkan pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih
mudah menemukan dan memahami konsep-komsep yang sulit jika mereka saling
mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Hal ini sejalan dengan ide
Blanchard dalam Trianto (2009), bahwa strategi pembelajaran kontekstual
mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama.
Teori Vygotsky
yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep itu di dalam daerah
perkembangan terdekat atau zone of
proximal development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat
perkembangan seseorang saat ini tidak lain adalah tingkat pengetahuan awal atau
pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi
pembelajaran bermakna. Tetapi apabila pembelajaran hafalan yang membosankan dan
tidak menumbuhkan motivasi siswa, apabila proses belajar mengajar ini terus
berlangsung dari tahun ke tahun, maka kemungkinan besar banyak siswa yang tidak
menyukai mata pelajaran matematika. Pembelajaran bermakna ini sama dengan salah
satu indikator kualitas pembelajaran kontekstual University of Washington.
Siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkostruksi pengetahuan di benak mereka
sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan
dan mentransformasikan suatu informasi kompleks di situasi lain, dan apabila
dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ” menerima”
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi
pusat kegiatan, bukan guru.
2)
Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri merupakan
bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang
kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan.
Siklus inkuiri terdiri dari :
a) Observasi (Observation);
b) Bertanya (Questioning);
c) Mengajukan dugaan (Hyphotesis);
d) Pengumpulan data (Data gathering);
e) Penyimpulan (Conclussion);
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
a) Merumuskan masalah;
b) Mengamati atau melakukan observasi;
c) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam
tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; dan
d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas, guru, dan audiens yang lain.
3) Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu
bermula dari ’bertanya’. Questioning (bertanya)
merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai
kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian
penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali
informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Trianto, 2009).
Menurut
Kunandar (2007), kegiatan bertanya dalam pembelajaran berguna untuk:
1) Menggali informasi, baik administrasi
maupun akademis;
2) Mengecek pemahaman siswa;
3) Memecahkan persoalan yang dihadapi;
4) Membangkitkan respons kepada siswa;
5) Mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa;
6) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui
siswa;
7) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu
yang dikehendaki guru;
8) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa;
9) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4) Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Konsep Learning Community menyarankan agar
hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dalam
pembelajaran kontekstual, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya
heterogen. Yang yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang
belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai
gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat
bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di
kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli
di kelas.
Masyarakat
belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang
mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya
terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak
ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam
masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi
pembelajaran saling belajar satu sama lain. Seseorang yang terlibat dalam
kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman
bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman
belajarnya.
5) Pemodelan (Modeling)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin
berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki
kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru
bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala
kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan
untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang
cukup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan
alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan
siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh
para guru.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi
adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari.
Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-apa yang
sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi
dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk
mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan
dirinya sendiri (learning to be).
Pengetahuan
yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui
penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dapat dijadikan sandaran
dalam menanggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model
pembelajaran kontekstual, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki
ketika seorang siswa berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari
itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut ke luar dari kelas,
yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata
yang dihadapi sehari-hari. Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan mudah diaktualisasikan
manakala pengalaman balajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa
dan di sinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap kesempatan
pembelajaran.
7) Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Tahap akhir pada pembelajaran kontekstual adalah
melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran
memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas
proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan pembelajaran kontekstual.
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa
memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan
terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari
penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap
proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.
4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray
Menurut Lie, model
pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Sedangkan menurut Ibrahim ”Model pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran yang membantu siswa mempelajari isi akademik dan
hubungan sosial”. Ciri khusus pembelajaran kooperatif mencakup lima unsur yang
harus diterapkan, yang meliputi: saling ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota dan evaluasi proses kelompok
(Nurjanah, 2012).
Salah satu tipe pembelajaran kooperatif
yang dapat digunakan dalam pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif
tipe Two Stay-Two Stray. Model
pembelajaran ini pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992.
Menurut Komalasari (Nurjanah, 2012), model pembelajaran ini memberikan
kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok
lainnya.
Ciri khas dari model pembelajaran Two Stay-Two Stray adalah adanya
pembagian tugas dalam kelompok yaitu dua siswa bertugas sebagai tamu untuk
mencari informasi dari kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap berada dalam
kelompok untuk memberikan informasi kepada kelompok lain. Jika mereka telah
selesai melaksanakan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing.
Setelah kembali ke kelompok asal, baik siswa yang bertugas bertamu maupun
mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.
Strukrur Two Stay-Two Stray memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi
hasil dan informasi dengan kelompok lain, hal ini menunjukkan bahwa lima unsur
proses belajar kooperatif yang terdiri atas : saling ketergantungan positif,
tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar kelompok dan evaluasi
proses kelompok dapat terlaksana. Pada saat anggota kelompok bertamu ke
kelompok lain maka akan terjadi proses pertukaran informasi yang bersifat
saling melengkapi, dan pada saat kegiatan dilaksanakan maka akan terjadi proses
tatap muka antar siswa di mana akan terjadi komunikasi baik dalam kelompok
maupun antar kelompok sehingga siswa tetap mempunyai tanggung jawab
perorangan.(Eko, 2011).
Adapun tahap-tahap dalam model
pembelajaran Two Stay-Two Stray yang
dikemukakan oleh Santoso (Nurjanah, 2012), yaitu:
a. Persiapan
Pada tahap
persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sistem
penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa
menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan 4 siswa
dan setiap kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi akademik siswa dan
suku.
a. Presentasi Guru
Pada tahap ini
guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan menjelaskan materi
sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.
b. Kegiatan Kelompok
Pada kegiatan ini
pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang diberi tugas-tugas yang harus
dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar
kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep
materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecil (4 siswa)
yaitu mendiskusikan masalah tersebut bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing
kelompok menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara
mereka sendiri.
Kemudian 2 dari 4
anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke
kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas
menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu.
Setelah memperoleh
informasi dari 2 anggota yang tinggal, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok
masing-masing dan melaporkan temuannya serta mencocokkan dan membahas
hasil-hasil kerja mereka.
c. Formalisasi
Setelah belajar
dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan salah satu
kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau
didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan
siswa ke bentuk formal.
d. Evaluasi Kelompok dan Penghargaan
Pada tahap
evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam memahami
materi yang telah diperoleh dengan menggunakan model pembelajaran tipe Two Stay-Two Stray. Masing-masing siswa
diberi kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari hasil pembelajaran dengan
model Two Stay- Two Stray, yang
selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada kelompok yang
mendapatkan skor tertinggi.
Langkah-langkah
pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray yaitu :
1. Siswa bekerja dalam kelompok yang
beranggotakan 4 orang.
2. Setelah selesai, 2 orang dari
masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk kemudian bertamu ke
kelompok yang lain.
3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok
bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka.
4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok
mereka masing-masing dan melaporkan temuan mereka yang diperoleh dari kelompok
yang lain.
5. Kelompok mencocokkan dan membahas
hasil-hasil kerja mereka .
Teknik
pembelajaran Two Stay-Two Stray memberikan
banyak informasi sekaligus dari dua kelompok berbeda, siswa balajar untuk
mengungkapkan pendapat kepada siswa lain dan siswa dapat meningkatkan hubungan
persahabatan. Adapun pengelompokan pada pembelajaran kooperatif ini adalah
pengelompokan heterogenitas yaitu kelompok yang memperhatikan keanekaragaman
gender, latar belakang sosio ekonomi dan etnik serta kemampuan akademik. Tiap
kelompok dalam pembelajaran ini biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan
tinggi, dua orang berkemampuan sedang dan satu orang berkemampuan rendah.
5. Keterkaitan antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan Kontekstual dengan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa
Pendekatan Kontekstual membantu guru dalam proses pembelajaran
sehinga siswa dapat mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari
atau kehidupan nyata siswa sehingga lebih mudah dipahami dan mampu mengemukakan
gagasan atau ide-ide matematika kepada siswa yang lain maupun kepada guru.
Indikator
kemampuan komunikasi matematika siswa yang telah diuraikan di atas secara teori
dapat ditingkatkan melalui pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
koperatif tipe Two Stay-Two Stray
dengan pendekatan Kontekstual yaitu, siswa dituntut untuk dapat
berdiskusi dengan teman sekelompoknya dan bertukar informasi dengan kelompok
lain dalam mengerjakan lembar kegiatan yang berkaitan dengan konsep materi dan
klasifikasinya. Kemudian siswa harus dapat mengkomunikasikan informasi berupa
gagasan atau ide-ide matematika yang diperoleh dalam diskusi kelompok kepada
teman kelompok lainnya. Sehingga siswa mampu untuk menyatakan konsep dan
mengekspresikan solusi matematika dengan tepat.
B. Hipotesis Tindakan
Bedasarkan kerangka teoritik yang dijabarkan di
atas serta hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis tindakan dalam
penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan
Kontekstual dapat meningkatkan
komunikasi matematika pada siswa kelas SMP Negeri 26 Makassar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research, secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui,
yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi
(Arikunto, dkk, 2007:16).
B.
Lokasi dan Subjek
Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 26 Makassar pada tahun pelajaran
2012/2013 dengan subjek penelitian siswa kelas dengan jumlah siswa 32 orang.
C.
Faktor Yang Diselidiki
1. Faktor input : melihat kemampuan
komunikasi matematika siswa sebelum pemberian tindakan.
2. Faktor proses : dengan mengamati
bagaimana keaktifan siswa saat diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay-Two Stray dengan pendekatan kontekstual.
3. Faktor
output : mengamati kemampuan komunikasi matematika setelah pemberian tindakan
pada setiap siklus yang dinilai melalui tes secara tertulis, serta melihat
respon siswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan.
D. Prosedur Penelitian
Untuk
dapat mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 26
Makassar maka dilakukan tes awal pokok bahasan terakhir dan hasilnya dianggap
sebagai skor dasar. Selanjutnya dilakukan proses pembelajaran di kelas.
Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan yang dilaksanakan selama dua siklus. Kedua siklus merupakan rangkaian
kegiatan yang saling berkaitan, artinya pelaksanaan siklus II merupakan
lanjutan dari siklus I. Siklus I dilaksanakan selama 4 kali pertemuan, dimana 3
kali pertemuan digunakan untuk proses belajar mengajar dan 1 kali pertemuan
digunakan sebagai tes Siklus I begitu pula pada Siklus II dilaksanakan selama 3
kali pertemuan, dimana 2 kali pertemuan untuk proses belajar mengajar dan 1
kali pertemuan digunakan untuk test Siklus II.
Tiap siklus terdiri dari beberapa
tahap kegiatan sesuai hakikat penelitian tindakan kelas, yaitu tahap
perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observe), dan
refleksi (reflection) Siklus II pengulangan dan perbaikan pada
Siklus I.
Gambaran umum kegiatan pada Siklus I
dan Siklus II
Siklus I :
1.
Tahap Perencanaan (Planning)
Kegiatan
yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini adalah sebagai berikut :
a.
Menelaah silabus mata pelajaran matematika siswa
kelas VIII SMP dengan tujuan untuk mengalokasikan waktu yang digunakan.
b.
Membuat perangkat pembelajaran berupa RPP, LKS, Kuis
dan lain-lain untuk setiap pertemuan.
c.
Membuat lembar observasi aktifitas siswa dan guru
untuk mengamati kondisi pembelajaran di kelas ketika pelaksanaan tindakan sedang
berlangsung.
d.
Mendesain alat evaluasi untuk melihat sejauh mana
peningkatan komunikasi matematika, dan respon siswa setelah diterapkan model
pembelajaran tipe Two Stay-Two Stray dengan
pendekatan Kontekstual
2. Tahap
Tindakan (Action)
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah mengimplementasikan skenario
pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dalam bentuk tindakan dan
mensosialisasikan model pembelajaran yang sedang diterapkan kepada siswa, yaitu
model pembelajaran kooperatif tipe Two
Stay-Two Stray dengan pendekatan Kontekstual.
3. Tahap
Pengamatan (Observe)
Pada tahap ini dilaksanakan
observasi langsung terhadap tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang
telah dipersiapkan dengan mencatat semua kejadian yang terjadi dalam
pelaksanaan tindakan serta pada saat mengadakan evaluasi.
4. Tahap Refleksi
(Reflect)
Kegiatan refleksi pada penelitian
ini meliputi :
a. Mengevaluasi kembali kesesuaian
tindakan-tindakan yang telah dilakukan dengan hasil observasi.
b. Mengevaluasi tingkat keberhasilan yang
telah dicapai sesuai dengan tujuan pemberian tindakan.
c. Mendiskusikan hasil refleksi yang telah
dibuat bersama guru mata pelajaran matematika tentang kendala-kendala yang
dihadapi saat pelaksanaan tindakan kemudian memperbaikinya saat siklus
selanjutnya.
Siklus II
Siklus
II merupakan perbaikan dari siklus I. adapun tahap-tahap pelaksanaan Siklus II
yakni sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan (Planning)
Pada tahap
ini langkah-langkah yang dilaksanakan adalah :
a.
Mengidentifikasi
kesulitan-kesulitan dalam belajar matematika atau kesulitan dalam mengembangkan
kemampuan komunikasi matematika siswa pada Siklus I.
b.
Dari
identifikasi tersebut peneliti membuat catatan mengenai kesulitan dalam
melakukan komunikasi dalam bentuk tertulis yang dialami siswa sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan tindakan saat proses belajar berlangsung.
2. Tahap Tindakan (action)
Pada tahap
ini, tindakan yang dilakukan sesuai dengan perbaikan berdasarkan hasil refleksi
pada Siklus I. Langkah-langkah yang dilakukan relatif sama dengan pelaksanaan
pada Siklus I, yaitu dengan mengadakan perbaikan pada gaya mengajar dan model
pembelajaran yang diterapkan.
3. Tahap Pengamatan (observe)
Pada
prinsipnya observasi yang dilaksanakan pada Siklus II hampir sama dengan
observasi yang dilaksanakan sebelumnya. Perbedaannya hanya terletak pada
komunikasi siswa yang diintensifkan. Di samping itu, pada siklus ini siswa
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan berbagai kesulitan yang
dihadapi dalam melakukan komunikasi untuk mengungkapkan ide-ide matematika dalam
menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar matematika.
4. Tahap Refleksi (reflect)
Refleksi
dilaksanakan setiap akhir siklus. Hasil yang diperoleh dalam observasi, dikumpulkan
serta dianalisis. Analisis dibuat untuk menarik kesimpulan atas model
pembelajaran yang telah diterapkan selama dua siklus. Langkah-langkah pada
siklus berikutnya merupakan hasil refleksi sebagai pelaksanaan yang lebih baik
pada siklus sebelumnya.
E.
Teknik Pengumpulan Data
1.
Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini
adalah siswa Kelas VIII SMP Negeri 26 Makassar yang
menjadi subjek penelitian.
2.
Jenis Data
Data kuantitatif yang diperoleh dari
tes tertulis dan data kualitatif yang diperoleh dari lembar observasi aktivitas
siswa dan guru.
3.
Cara pengambilan data:
a.
Tes
Komunikasi Matematika
Tes komunikasi matematika bertujuan untuk mengukur kemampuan komunikasi
matematika siswa sesudah proses pembelajaran matematika dilakukan pada
siklus I dan siklus II dengan menggunakan
metode pembelajaran Two Stay-Two Stray dengan pendekatan
kontekstual
b.
Observasi
(pengamatan)
Ø Observasi dilakukan selama proses pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan lembar pengamatan tertutup. Kegiatan observasi
dilakukan untuk mengamati seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran.
Ø Observasi terhadap aktivitas guru meliputi: (1)
menyampaikan tujuan pembelajaran (2) memotivasi siswa (3) membangkitkan
pengetahuan awal siswa (4) meminta siswa memahami lembar aktivitas siswa (5)
meminta masing-masing siswa mengerjakan lembar aktivitas siswa (6) membentuk
kelompok belajar (7) menjelaskan kerja dan tangngung jawab kelompok (8) membimbing kelompok (9) meminta
kelompok menyiapkan laporan hasil kerja (10) meminta kelompok melaporkan hasil
kerjanya (11) membantu kelancaran diskusi (12) merespon kegiatan diskusi (13)
melakukan evaluasi secara individual (14) memberi penghargaan dan lain-lain.
Ø Pengamatan terhadap aktivitas siswa dilihat dari 3
aspek yaitu: (1) dari proses perencanaan pembelajaran (2) dari proses
pembelajaran dan (3) kegiatan evaluasi pembelajaran.
c.
Angket Respon Siswa
Angket respon siswa digunakan untuk mengukur kesan, penilaian
dan pendapat siswa terhadap proses pembelajaran. Persepsi siswa pada proses
pembelajaran dilihat dari diri siswa berupa: memotivasi dan kebutuhan, minat,
harapan serta pengalaman masa lalu. Dari luar diri siswa berupa: cara guru
mengajar, penggunaan lembar aktivitas siswa, pendekatan pembelajaran dan
suasana belajar.
d.
Dokumen
Dokumen pengumpulan data digunakan untuk
mendapatkan tambahan serta informasi lainnya yang mendukung, baik dalam bentuk
tulisan maupun visual. Dokumen seperti foto juga digunakan untuk memperlihatkan
suasana latar selama kegiatan penelitian berlangsung.
F.
Teknik Analisis Data
Data
yang terkumpul dianalisis dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Data tentang proses belajar dan respon siswa
dianalisis secara kualitatif, sedangkan data tentang hasil tes komunikasi
matematika dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik
deskriptif yaitu skor rata-rata (mean),
standar deviasi, variansi, median,
frekuensi, rentang, nilai
terendah, dan nilai tertinggi yang
dicapai siswa setiap siklus.
Data
hasil tes komunikasi matematika siswa dikategorikan berdasarkan teknik
kategorisasi standar yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu:
Tabel 3.1
Ketegorisasi Standar
SKOR
|
KATEGORI
|
0-34
35-54
55-64
65-84
85-100
|
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
|
G.
Indikator Keberhasilan
Kriteria keberhasilan PTK ini adalah apabila terjadi
peningkatan kualitas pembelajaran siswa dari siklus ke siklus yang terdiri atas
peningkatan kualitas proses belajar dan peningkatan komunikasi
matematika siswa. Peningkatan
kualitas proses belajar yang dimaksud adalah keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran, kerjasama dalam kelompok, keterlaksanaan proses belajar mengajar yang dilakukan
oleh guru, dan respon positif siswa terhadap pembelajaran
kooperatif tipe Two Stay – Two Stray dengan
pendekatan kontekstual. Sedangkan
peningkatan komunikasi matematika siswa yang
dimaksud adalah meningkatnya nilai
rata-rata hasil tes komunikasi matematika siswa pada tiap siklus, yaitu jika
80% dari jumlah siswa memperoleh skor ≥ 65 dari 100 skor ideal.
DAFTAR PUSTAKA
Anen. 2012. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis
Superintem.Bandung : Universitas
Pendidikan Indonesia
Arikunto.
2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta
: PT. Bumi Aksara
Darta. 2004. Pembelajaran Matematika
Kontekstual dalam Upaya Mengembangkan Kemampuan Pemecahan
Masalah dan Komunikasi Matematika Mahasiswa Calon Guru. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia
Dian. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Jigsaw IIuntuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Bandung
: Universitas Pendidikan Indonesia
Eko,Ras. 2011. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two
Stay Two Stray.
http://ras-eko.blogspot.com/2011/05/model-pembelajaran-kooperatif-tipe-two.html. Diakses pada tanggal 9 Novenber
2012
Hudojo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang
Irianti.2010. Efektifitas Pendekatan Kontekstual dalam
Pembelajaran Matematika Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 6 Palopo. Makassar
: FMIPA UNM
Karim.2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Kooperatif Berbasis Contextual Teaching and Learning pada Pokok Bahasan Segitiga. Makassar : FMIPA
UNM
Kunandar. 2007. Guru Profesional ( Implementasi KTSP dan
Sukses dalam Sertifikasi Guru ). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Muhkal. 2009. Materi Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Matematika. Makassar : FMIPA UNM
Murmahaera. 2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika Untuk Pokok Bahasan Kubus dan Balok Berbasis Kontekstual Model
Kooperatif pada siswa Kelas VIII SMP Negeri 4
Lalabata Kabupaten Soppeng. Makassar : FMIPA UNM
Nurjanah, Ita. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Two Stay – Two Stray Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa Smp. Bandung : Universitas
Pendidikan Indonesia
Nurlaela.2011.Penerapan Pendekatan Contextual Teaching
And Lerning untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII Mts Tanah
Gunung. Makassar : FMIPA UNM
Rusman.2010.Model-Model Pembelajaran .Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada.
Supriadi,Atang. 2012. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan
Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Inkuiri Terbimbing. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
Tanti.2012.Komunikasi Matematika.
http://catatantanti.blogspot.com/2012/11/komunikasi-matematika.html.
Diakses pada tanggal 24 Desember 2012
Trianto.2009.Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif. Surabaya :Kencana Prenada Media Group
like
BalasHapusboleh minta soft skripsinya gk ? sebagai bahan bacaan,, karena saya juga seperti ini. mohon bantuannya
BalasHapus